Surat untuk Jiwa


Saya menerima surat ini dari seorang kawan nyentrik yang sedang menyantri di ruang lain:

Salam,

Saya sudah cukup lama menunggu hujan di seberang petang hari ini. Tak biasanya ia datang terlambat, tanpa isyarat pula. Udara pekat dengan partikel-partikel debu berterbangan kian kemari, sudah sejak subuh mereka berlomba memeluk embun namun titik-titik pagi itu terlampau lekas pergi ke angkasa, tak ingin berlama-lama di lusuhnya bumi manusia, katanya.

Sebagai penjaga gerbang yang diampu cara untuk membuka lorong-lorong sukma, saya tak punya banyak kendali atas berpautnya semesta dengan kesadaran manusia. Sepanjang manusia masih mencari gambaran sempurnanya pada manusia lain, ia takkan mampu memahami jalinan alam raya yang menghubungkannya dengan Sang Maha. Hanya jika ia mau menebas kepongahan jiwa, merendahkan hati, dan memilih untuk percaya, ia bertemu cermin tempatnya mematut diri di hadapan gambar sempurna, gambar yang tak lagi samar-samar.  “Bukankah selubung yang kau undang hadir menyesakkan nafas dan mengaburkan penglihatanmu tak begitu megah sampai-sampai susah bagimu menanggalkannya?” Ia tertunduk, tak dijawabnya pertanyaan itu karena malu terlampau lama menggenggam pahit yang bukan miliknya. Pahit yang ia rekam sendiri semenjak ia merasa mampu menafsirkan alam semesta tanpa bertelanjang mata, seolah dengan menghidu tengiknya ia bisa membahasakan rana jiwa-jiwa. Juga semenjak ia menyangka bahwa harga pengorbanan daging dan lukanya cukup untuk jadikannya utuh.

Tidak, tak ada harga bagi siapapun yang menduga bahwa keutuhan jiwanya diukur dari balas jasa.

Manusia tak seharusnya tersambung karena hutang budi dan upaya-upaya menimpakan tanggung jawab untuk saling menopang ketika jatuh. Bangun dan jatuhnya ia adalah sarana untuk bertemu dengan Sang Maha. Ia akan bertemu padanannya ketika tak lagi ia risaukan daging dan darah karena keduanya ialah sementara saja. Juga ketika ia mau mengaku bahwa ia tak sanggup menempa keutuhan jiwa tanpa menyerahkan diri pada rencana Sang Maha.

Hanya ketika ia menemukan jalan hakiki ia dapat berjalan tanpa digiring, tersambung dengan sukma lain yang telah mengetahui tempatnya berdiri di kelindan jalinan semesta. Dalam keterhubungan ini, pusat diri bukan lagi pribadi yang padanya melekat remah-remah fana, melainkan cahaya. Cahaya terang yang memampukan ia memandang gambaran Sang Maha ketika ia mematut dirinya di hadapan agungnya jagad raya.

Sederhananya, ia tak perlu berjerih lelah mengupayakan imaji dari sesama manusia untuk jadikannya utuh. Pula ia tak akan bertemu yang hakiki hanya dengan berkontempelasi. Keutuhan hakiki ada dalam ruang-ruang sukma yang ketika diurut kelindan lorongnya, berujung pada Sang Maha.

Demikian saja saya berujar, hujan nampaknya alpa berjumpa dengan petang hari ini. Sampai bertemu subuh nanti, semoga rintik embun sanggup membasuh keringnya ladang-ladang sukma. 

Terima kasih untuk teguran hangatnya, kawan. Senang bercengkerama denganmu lagi.





Diberdayakan oleh Blogger.