****
Sudah sejak lama saya mengamati kontradiksi sebagai data yang terus menerus ada dan berulang di berbagai keping semesta. Mulai dari kelahiran dan kematian bintang yang ditandai dengan pertentangan masa dua benda langit hingga upaya planaria membelah diri karena kontra antara asam dan basa. Kontradikisi jadi serupa susunan protein DNA yang terus ada di setiap satuan terkecil kehidupan. Tanpa kontradiksi, tak akan ada kiasma yang mewujudkan mutasi genetik. Tanpa kontradiksi, tak akan ada hujan yang terlahir dari benturan proton dan elektron yang digendong awan-awan di langit.
Bukan, kontradiksi
tak melulu soal benar atau salah. Dua pertentangan ini muncul
belakangan ketika manusia merasa mampu mengeja realita dengan bahasa.
Kotradiksi juga bukan selalu perihal nyata dan tak nyata, karena
kenyataan akan selamanya terperangkap pada keterbatasan indera manusia
memindai sekelilingnya. Kontradiksi adalah
pertentangan yang melahirkan energi, atau paling tidak, menjadikan
energi termanifestasi dalam rupa yang bisa digapai otak manusia.
Energi
kinetik muncul dari pertentangan antara gerak dan hela, energi nuklir
ada karena pertentangan proton dan elektron, gravitasi ada karena
pertentangan dua masa benda. Kontradiksi menandai adanya energi, di mana-mana.
Kontradiksi
pun menandai perilaku manusia sepanjang sejarah. Di satu sisi manusia
adalah makhluk soliter yang berkompetisi untuk bertahan hidup- survival
for the fittest- namun di sisi lain manusia adalah makhluk sosial yang
penuh dengan roman tentang simbiosis mutualisme. Hasilnya? manusia punya
cukup energi untuk beranak-pinak dan mengerubungi bumi. Energi dan kontradiksi, dua sisi satu keping koin.
Persis, kontradiksi
ini yang memberi saya energi baru untuk mengeja rahasia-rahasia
semesta. Saya diberi kesempatan untuk membenci sekaligus mencinta di
waktu dan tempat yang sama. Lahirlah energi yang tak pernah saya sangka
muncul dari dalam diri, yang memampukan saya menghela ketika
terlalu letih berlari, yang menggerakkan saya untuk tak lagi bertaruh
seluruh hanya untuk luruh dan ditinggal sendiri. Kontradiksi ini bukan akan jadi sumber energi saya selamanya, terlalu riskan bergantung pada kontradiksi
yang muncul karena aksi manusia. Tapi saya perlu waktu mengambil jarak
dari sumber energi abadi yang terlampau lama saya pegang erat hingga
saya lupa akan inti kontradiksi tentangnya.
Saat
ini saya berayun dan enggan berpijak pada bumi. Saya benci ketika bumi
terus berputar sementara waktu terasa begitu beku di mata saya. Saya
lelah menenggak pahit yang tercurah dari relasi kronik saya dengan
manusia lain. Saya jengah menjadi perekat manusia-manusia yang
mengganggap dirinya adalah poros dunia, yang lupa bahwa ego mereka tak
bisa menggapai langit dan memproduksi pemuja. Saya tak mau terus-menerus
tergoda menghakimi sesama dan menjadi jawaban, karena toh setiap orang
berhak atas penghidupannya, sekalipun mereka hilang arah dan tak
mengenali batas antara hidup dan mati. Saya bukan superhero yang karena
mengampu fitur kemanusiaan yang lebih canggih harus memikul tanggung
jawab orang banyak. Tidak. Manusia harus belajar tentang kesendirian.
Saya perlu ruang untuk menghela dan berpikir. Adapun kesendirian ialah kontradiksi yang indah, dengannya engkau bisa menyusun ulang utuhnya diri atau memilih untuk menghindar pergi dari soalanmu.
Kontradiksi bukanlah jarak antara nol dengan utuh, ia adalah pusat dari yang ada dan yang tiada.
Ironisnya,
saat ini saya melekat pada bumi namun enggan terbang tinggi. Saya
mencintai waktu yang cair dan bumi yang tak berubah wajah dan rona. Saya
menemukan damai pada pahitnya khianat, karena saya tahu tiap orang yang
memuntahkan pahitnya pada saya punya peluang besar untuk bertumbuh dan
memulihkan jiwa-jiwa lainnya. Saya belajar banyak hal berharga dengan
menjadi perekat bagi orang-orang pongah karena saya tahu dalam pusat
hidupnya ada kerinduan untuk menemukan relasi yang berarti. Saya
menemukan harapan pada orang-orang yang bertemu dengan jawaban yang
mereka cari pada hidup yang saya punya, pada mereka yang merunut jalan
pulang setelah mencuil remah-remah jiwa saya, pada mereka yang melihat
hidup dan mati tak lagi banyak berbeda setelah megecap ketidakgentaran
saya pada maut dan penghormatan saya pada hidup. Saya beroleh fitur yang
lebih canggih setelah saya menggunakannya untuk menolong orang banyak.
Saya pun belajar dari kesendirian, bukan dengan menghidar dari hiruk
pikuk hidup manusia atau mengunci diri pada ruang sempit di hati.
Saya
menemukan kesendirian pada jalinan yang menghubungkan saya dengan
manusia lain dan alam raya. Kesendirian yang soliter, yang seperti
anomali dari teraturnya temperatur air ketika dipanaskan, yang seperti
mitokondria pada susunan sel tanaman, yang seperti matahari. Matahari
berguna dalam kesendirian, ia menghidupi jalinan-jalinan benda langit
dalam tata surya. Hidup matahari tak bergantung dari arah berputarnya
bumi, karena matahari tahu, hidupnya berpusat pada energi abadi: kontradiksi antara helium dan hidrogen yang terus berpusar dan mengejar.
Tenang saja, saya akan segera berbalik ke energi abadi saya. Pusat hidup saya. Iman saya pada Tuhan yang memikul kontradiksi maha megah: Ia yang Maha Suci namun berkenan menjalin relasi dengan saya yang luar biasa tak suci. Kontradiksi ini yang memampukan saya untuk terus melaju dalam labirin pertentangan di muka bumi ini. Terima kasih Tuhan untuk ada.
****
Terima kasih sudah berbagi pelajaran dan mengijinkan saya menayangkan surat ini laman Jeda Kata. Semoga guru menemukan damai di jalinan kontradiksi.