Kontradiksi

Saya adalah manusia yang beruntung karena mendapat kesempatan mengenal guru-guru hidup di sepanjang perjalanan saya. Mereka mengambil rupa sebagai teman sekolah, rekan kerja, tukang cukur langganan, penyalur koran dan majalah di tikungan dekat setasiun, dan sebagainya. Seringkali mereka datang tanpa diminta memberi saya jawaban atau pertanda tentang pertanyaan-pertanyaan yang bercokol dalam perenungan saya. Surat ini salah satunya, ditulis oleh seorang guru hidup yang banyak berpikir tentang kemakmuran orang lain tapi kerap lupa mencintai dirinya sendiri. Judul suratnya kepada saya adalah "Kontradiksi".

****

Sudah sejak lama saya mengamati kontradiksi sebagai data yang terus menerus ada dan berulang di berbagai keping semesta. Mulai dari kelahiran dan kematian bintang yang ditandai dengan pertentangan masa dua benda langit hingga upaya planaria membelah diri karena kontra antara asam dan basa. Kontradikisi jadi serupa susunan protein DNA yang terus ada di setiap satuan terkecil kehidupan. Tanpa kontradiksi, tak akan ada kiasma yang mewujudkan mutasi genetik. Tanpa kontradiksi, tak akan ada hujan yang terlahir dari benturan proton dan elektron yang digendong awan-awan di langit. 

Bukan, kontradiksi tak melulu soal benar atau salah. Dua pertentangan ini muncul belakangan ketika manusia merasa mampu mengeja realita dengan bahasa. Kotradiksi juga bukan selalu perihal nyata dan tak nyata, karena kenyataan akan selamanya terperangkap pada keterbatasan indera manusia memindai sekelilingnya. Kontradiksi adalah pertentangan yang melahirkan energi, atau paling tidak, menjadikan energi termanifestasi dalam rupa yang bisa digapai otak manusia.

Energi kinetik muncul dari pertentangan antara gerak dan hela, energi nuklir ada karena pertentangan proton dan elektron, gravitasi ada karena pertentangan dua masa benda. Kontradiksi menandai adanya energi, di mana-mana.

Kontradiksi pun menandai perilaku manusia sepanjang sejarah. Di satu sisi manusia adalah makhluk soliter yang berkompetisi untuk bertahan hidup- survival for the fittest- namun di sisi lain manusia adalah makhluk sosial yang penuh dengan roman tentang simbiosis mutualisme. Hasilnya? manusia punya cukup energi untuk beranak-pinak dan mengerubungi bumi. Energi dan kontradiksi, dua sisi satu keping koin.

Persis, kontradiksi ini yang memberi saya energi baru untuk mengeja rahasia-rahasia semesta. Saya diberi kesempatan untuk membenci sekaligus mencinta di waktu dan tempat yang sama. Lahirlah energi yang tak pernah saya sangka muncul dari dalam diri, yang memampukan saya menghela ketika terlalu letih berlari, yang menggerakkan saya untuk tak lagi bertaruh seluruh hanya untuk luruh dan ditinggal sendiri. Kontradiksi ini bukan akan jadi sumber energi saya selamanya, terlalu riskan bergantung pada kontradiksi yang muncul karena aksi manusia. Tapi saya perlu waktu mengambil jarak dari sumber energi abadi yang terlampau lama saya pegang erat hingga saya lupa akan inti kontradiksi tentangnya.

Saat ini saya berayun dan enggan berpijak pada bumi. Saya benci ketika bumi terus berputar sementara waktu terasa begitu beku di mata saya. Saya lelah menenggak pahit yang tercurah dari relasi kronik saya dengan manusia lain. Saya jengah menjadi perekat manusia-manusia yang mengganggap dirinya adalah poros dunia, yang lupa bahwa ego mereka tak bisa menggapai langit dan memproduksi pemuja. Saya tak mau terus-menerus tergoda menghakimi sesama dan menjadi jawaban, karena toh setiap orang berhak atas penghidupannya, sekalipun mereka hilang arah dan tak mengenali batas antara hidup dan mati. Saya bukan superhero yang karena mengampu fitur kemanusiaan yang lebih canggih harus memikul tanggung jawab orang banyak. Tidak. Manusia harus belajar tentang kesendirian. Saya perlu ruang untuk menghela dan berpikir. Adapun kesendirian ialah kontradiksi yang indah, dengannya engkau bisa menyusun ulang utuhnya diri atau memilih untuk menghindar pergi dari soalanmu. 

Kontradiksi bukanlah jarak antara nol dengan utuh, ia adalah pusat dari yang ada dan yang tiada.

Ironisnya, saat ini saya melekat pada bumi namun enggan terbang tinggi. Saya mencintai waktu yang cair dan bumi yang tak berubah wajah dan rona. Saya menemukan damai pada pahitnya khianat, karena saya tahu tiap orang yang memuntahkan pahitnya pada saya punya peluang besar untuk bertumbuh dan memulihkan jiwa-jiwa lainnya. Saya belajar banyak hal berharga dengan menjadi perekat bagi orang-orang pongah karena saya tahu dalam pusat hidupnya ada kerinduan untuk menemukan relasi yang berarti. Saya menemukan harapan pada orang-orang yang bertemu dengan jawaban yang mereka cari pada hidup yang saya punya, pada mereka yang merunut jalan pulang setelah mencuil remah-remah jiwa saya, pada mereka yang melihat hidup dan mati tak lagi banyak berbeda setelah megecap ketidakgentaran saya pada maut dan penghormatan saya pada hidup. Saya beroleh fitur yang lebih canggih setelah saya menggunakannya untuk menolong orang banyak. Saya pun belajar dari kesendirian, bukan dengan menghidar dari hiruk pikuk hidup manusia atau mengunci diri pada ruang sempit di hati. 

Saya menemukan kesendirian pada jalinan yang menghubungkan saya dengan manusia lain dan alam raya. Kesendirian yang soliter, yang seperti anomali dari teraturnya temperatur air ketika dipanaskan, yang seperti mitokondria pada susunan sel tanaman, yang seperti matahari. Matahari berguna dalam kesendirian, ia menghidupi jalinan-jalinan benda langit dalam tata surya. Hidup matahari tak bergantung dari arah berputarnya bumi, karena matahari tahu, hidupnya berpusat pada energi abadi: kontradiksi antara helium dan hidrogen yang terus berpusar dan mengejar.

Tenang saja, saya akan segera berbalik ke energi abadi saya. Pusat hidup saya. Iman saya pada Tuhan yang memikul kontradiksi maha megah: Ia yang Maha Suci namun berkenan menjalin relasi dengan saya yang luar biasa tak suci. Kontradiksi ini yang memampukan saya untuk terus melaju dalam labirin pertentangan di muka bumi ini. Terima kasih Tuhan untuk ada.
  ****
Terima kasih sudah berbagi pelajaran dan mengijinkan saya menayangkan surat ini laman Jeda Kata. Semoga guru menemukan damai di jalinan kontradiksi.

 

Diberdayakan oleh Blogger.