Hampir setiap kisah ditengarai dengan pertemuan, perjalanan, dan perpisahan. Ketiganya tak harus ada berurutan. Begitu juga dengan catatan tentang dua bilah kaca jendela yang tak sempat dituturkan juru cerita manapun. Saya beruntung karenanya. Di hari pertama matahari menghempaskan terik setelah terlampau lama dikelabui derai salju, sepasang kaca jendela menjumpai saya dan menitipkan kisah mereka untukmu. Semoga menjadi nukilan jawaban dari semesta untuk mereka yang tak henti bertanya.
****
Tadinya
kupikir perjalanan ini punya perhentian abadi. Aku keliru. Segala sesuatu
bergerak melintasi galur tak berujung. Betul, ada jeda di antara perpindahan
wujud yang acap kali disangka sebagai akhir. Layaknya setiap jeda, sifatnya tentu
cuma sementara. Tak perlu ditunggu-tunggu, toh lelahmu hanyalah konstruksi dari
mereka yang mengagungkan penantian.
Sayang
sekali, tak banyak yang menaruh percaya bahwa hidup manusia sesingkat debu yang
dititipi hidup sementara hanya untuk kembali meluruh jadi debu setelah tak lagi
bernyawa. Ketika kesadaranku tumbuh pada tubuh seorang anak muda bernama Kurz,
aku sering menumpang kereta uap dari Winnetka ke jantung kota Chicago. Selalu
kupilih kompartemen kedua di belakang lokomotif, duduk menyilang kaki sambil
pura-pura membaca koran hari ini. Mataku biasanya hanya terpaku pada dua hal:
jendela kaca berdebu di samping kiri atau gadis manis bersarung tangan toska di
bangku seberang. Setiap hari kami berkendara di kompartemen yang sama tanpa
pernah sekalipun bicara. Begitu seterusnya, seolah ruang di antara kami hanya
diisi udara yang hanya bisa dihirup tapi tak mampu hantarkan gelombang suara.
Semesta
suka bercanda. kami baru diberikan medium untuk menyapa di perhentian pertama: Kematian.
Nyala api dan hembus angin merubah wujud kami jadi serpihan abu ketika kereta
kami dilalap api 8 Oktober 1871. Namanya Cam, ia tetap cantik walau terbang
kian kemari dalam wujud setitik abu. Kami dihembus ribuan kali, menunggang
angin menyaksikan seisi kota terbakar liuk api jingga.
Aku dan
Cam banyak bertukar cerita tentang perjalanan kami ketika masih berdiam di
tubuh sebelumnya. Kami mengkaji dengan seksama bagaimana kesadaran yang
terperangkap dalam jalinan darah dan daging begitu terkekang oleh
kesepakatan-kesepakatan fana antar manusia. Begitu anak manusia dilahirkan, ia
sudah dibalut rapat dengan rupa-rupa selubung: norma, harapan, dan hal lain
yang dianggap wajar padahal justru mengerdilkan kebebasan untuk tersadar.
Mengalami hidup dalam setitik partikel abu mengajarkan kami bahwa kesadaran tak
dibatasai oleh wujud materi. Menjadi abu memampukan kami mengasihi tanpa
kondisi, elemen kesadaran yang mungkin begitu sulit terpendar ketika kami
adalah sepasang manusia.
Cam
tinggal di Milwaukee, putri seorang pengrajin kaca dari Sisilia. Ia bertanya
padaku kapan kami berpindah ke wujud berikutnya. Ia begitu haus akan pelajaran
dalam perjalanan ini. Belum sempat aku menjawabnya, angin utara menghempaskan
kami di muka gelap danau Michigan.
Kini
kesadaran kami mengalir bersama miliyaran partikel air yang lain. Tidak
semuanya kukenal. Banyak dari mereka sudah lama mewujud air dan menanti tiba
pada suatu perhentian sementara. Dua puluh tahun aku dan Cam bersisian hanyut
megikut arus dalam, berpindah dari muara ke berbagai samudera. Air menyimpan
pengajaran tentang damai.
Suatu
hari Cam melihat pecahan kaca di dasar ceruk dalam. Ia begitu ingin berjumpa
dengannya, siapa tahu serpihan kaca itu wujud sementara dari ayah atau ibunya.
Kulepas dia menjelajah seorang diri, karena aku percaya apa yang lekat dengan
kita akan selalu kembali, menemukan jalan pulang. Aku keliru. Pusaran air tenang
memerangkapku di pusat putarannya lalu dihempasnya aku ke permukaan.
Semesta
gemar sekali bercanda, sedikitpun tak ada celah tersisa bagiku mengucap pisah.
Aku lupa caranya menangis karena terlalu lama bergaul dengan air asin. Langit
menyambutku dengan sorak-sorai tatkala terik matahari mengubahku jadi uap air.
Kini aku adalah bagian kasat mata dari udara. Tak masalah, mereka yang mencinta
tak selalu harus terlihat bukan?
Sebagai
partikel uap air yang menurut arah kesiup angin, aku tak punya banyak ingin.
Kemanapun ia berhembus, aku akan turut, sambil sesekali berharap Cam sudah terangkat
dari laut ke langit menjelma jadi udara.
Awan perak
di barat daya diampu menjadi gerbang perjalanan yang baru. Disulapnya aku jadi
titik salju bersudut enam. Menjadi titik salju membuatku malu pada noda-noda
yang kubiarkan mengerak di kesadaran ketika aku masih berbalut darah dan daging
dulu. Salju begitu sederhana, tak dipikirnya kemana ia jatuh. Putih saja dan
itu sudah lebih dari cukup. Aku bahkan tak begitu sedih mengingat jalanku dan
jalan Cam yang tak lagi beriring. Salju begitu sederhana, ia mengajariku
menerima pahit dengan lapang dada. Hanya ada putih saja dan tak ada alasan lain
untuk tak percaya.
Perjalanan
panjang ini rupanya adalah lajur tak henti tempat kesadaran belajar. Kelindan
antara memahami dan mengalami.
Aku
meliuk cukup lama dari kota ke kota. Manusia mengira salju akan binasa ketika
bertumbukan dengan garam yang mereka semai di jalan-jalan. Garam bagi kami
adalah pintu lain untuk bertolak kembali mewujud air atau bisa jadi ia adalah
gerbang perhentian terakhir. Semoga saja begitu.
Sial, aku
terjatuh di tumpukan pasir kuarsa kala musim dingin hampir usai. Setelah hampir
empat puluh tahun menjelma jadi sebutir pasir bijaksana, semesta
mempertemukanku dengan Cam. Ia jatuh sebagai tetes hujan yang merintik tepat di
atasku. Kami kembali bersatu, dua butir pasir yang melepas rindu, terikat oleh
jalinan silika, di antara rinai hujan kala senja.
Cam
bertemu jalan pulangnya di persimpangan subuh awal musim semi. Aku mengiringnya
berkendara di atas truk penambang pasir, melintasi jalanan pinggir kota menuju
Winnetka, tak lagi berontak akan perjalanan puluhan tahun yang tak kunjung
usai.
Api
kembali menjadi sarana yang dipakai menggerus kami bersama biji-biji silika,
dilebur berulang kali hingga kami mewujud utuh pada dua bilah kaca. Dari jutaan
kemungkinan yang ada, semesta melontarkan kami kembali ke kisah perjumpaan. Aku
dan Cam, sepasang jendela kaca yang dipasang berseberangan di kompartemen kedua
kereta api Metra dari Chicago ke Winnetka. Paling tidak, aku bisa memandangnya
tanpa harus berpura-pura, sepanjang perjalanan yang entah dimana ujung
pangkalnya.
Sayang
sekali baru sekarang aku mengerti sekeping cetak biru alam raya.
***
Untuk Kawara, 17 Maret 2015.