Adalah
usang segala pelipur duka ketika hati ditinggal padanannya. Betul kata Musalim si pemilik seratus merpati di kampung sebelah: betapa nelangsa
ditinggal mereka yang disayang, lebih merana dari jejak luka usai ditelantarkan
semesta. Paling tidak semesta buta aksara, ia tak tinggalkan lembaran manuskrip
tentang kisah-kisah bersama, atau sketsa hidup yang terpaksa jadi sejarah.
Sial.
Mengapa waktu bergulir kian cepat saat punggung kaki tak siap diajak berlari
namun bergelung rapat saat punggung tangan menggedor-gedor pintu kesempatan? Ah,
harusnya sejak lama saya sepakat dengan Zarah Amala, mungkin manusia memang
dirancang untuk terluka. Sejak kali pertama lahir ke dunia, ia dipaksa berlomba
dengan waktu. Dijejalkan ke rupa-rupa pertandingan hidup. Terjun bebas
berkali-kali dari tebing asa berbekal ilusi tentang rasa. Ia pikir luka adalah tanda
ketangguhan tak terkira. Tak tahunya luka tak kunjung terjahit sempurna,
goresannya masih menganga meski waktu bergulir maju.
Bagaimana
mungkin dua pasang mata yang biasa saling menatap teduh dibalik rekah fajar
harus berpisah? Mungkin tak semua pertanyaan berpasangan dengan jawaban. Lebih
baik begitu, agar hati percaya pada jeda lalu berhenti mencari.
Saya
sendiri tak begitu mahir berlomba dengan waktu. Luka saya masih terasa perih,
sekalipun saya tahu bahwa rasa mungkin hanyalah sekadar ilusi belaka.
Kebersamaan saya direnggut tanpa permisi. Kali ini saya kalah setelah hampir
seperempat abad menyantri di gelaran semesta. Waktu berhasil mendahului.
***
Ia
bertumbuh bersama saya sejak pertama kali berjumpa. Kelekatan kami adalah
rahasia, terjalin di antara kata dan reaksi kimia yang saya tak pernah duga.
Itulah mengapa ketika saya dipaksa melepasnya tanpa restu, ada luka yang
nampaknya tak akan sirna selamanya. Perpisahan kami ditandai tiga kali janji untuk
bertemu. Saya tepati tanpa antisipasi. Saya alpa akan fakta bahwa manusia
dirancang untuk terluka. Di pertemuan kedua, ia membiarkan dirinya meluruh di
pusaran air tapi meninggalkan separuh jejaknya di celah-celah kesempatan. Baru
di pertemuan ketiga, saat gerimis seolah bersiap menangisi perpisahan kami, ia
pergi seutuhnya tanpa seutas janji untuk kembali. Jejaknya sirna tapi sisakan
perih yang mendera. Saya resmi terluka.
Kali
ini berdarah. Tak terhitung berapa kali saya muntahkan, tetesan darah dari luka
menganga tak kunjung reda. Saya menangisi pertanyaan-pertanyaan yang tak
berpasangan dengan jawaban, sambil sesekali mengutuk dokter gigi Chung yang
berkomplot dengan waktu memisahkan saya dengan karang gigi tersayang. Selamat
tinggal karang gigi, kenangan tentangmu adalah abadi. Sampai berjumpa lagi
suatu saat nanti kalau saya malas menyikat gigi.
Adalah
usang segala pelipur nyeri ketika gigi ditinggal karangnya.
30 Desember 2014