Musalim tinggal di rumah
kecil di ujung kampung. Di halaman depan rumahnya yang ia tanami rumpun
bunga-bunga kana, ia sandarkan bangku bambu seukuran badan tegapnya, tempatnya
menikmati sepoi angin sore sambil memandang maghrib dari tanggul
Kali Brantas seusai meluku di sawah padi punya Mak Totok. Rumahnya diapit
tanggul kali dan sawah padi, kalau saja tak ada lampu neon bertiang bambu yang
ia nyalakan setelah salat isya, rumahnya bakal susah dicari.
Di halaman belakang berdiri tinggi tiang-tiang bambu yang
menopang rumah-rumahan kayu berpintu dua di keempat sisinya. Seratus ekor
merpati terbang dan pulang setiap harinya, kadang mereka berputar dulu di atas
rumah Musalim sebelum senja melenggang, seolah mengucap salam petang untuk
tuannya.
Sudah sejak putus sekolah menengah Musalim memelihara
merpati, berharap ia dimengerti. Hanya merpati, katanya pada tetangga, yang
terbang pergi dari hidupnya tapi selalu pulang kembali, tak seperti emaknya
yang hanya kirim janji dari Arab Saudi, atau bapaknya yang pergi ke Sukabumi
lalu menikah lagi. Musalim tak banyak bicara, ia lebih sering bercerita pada
merpati-merpatinya ketimbang bercengkerama dengan manusia. Bahkan Mak Totok
sekalipun hanya sesekali ia ajak berunding, itu pun soal tak masuk akalnya harga
pupuk di daerahnya dan tawarannya untuk menukar penyubur kimia dengan kompos
kotoran burung yang ia buat sejak Ramadan lalu. Mak Totok ingin sekali
bersepakat dengan lelaki pendiam itu, tapi ia sudah kontrak dengan ketua
kelompok tani untuk terus bertahan menanti pupuk subsidi, kalau tidak menurut, ia
tak lagi dapat jatah gabah dari pemerintah.
Setelah genap seratus ekor jumlahnya, Musalim tak pernah
mau menjual merpati-merpatinya kecuali ada banyak telur baru menetas dan siap
belajar terbang. Kalau ada yang mati, buru-buru ia cari pengganti. Jumlahnya
harus seratus. Seringnya, jika paginya ia jumpai ada merpatinya yang mati,
sorenya selalu ada telur menetas sehingga jumlah seluruh peliharaannya tetap
genap. Di bawah tiang bambu penopang pagupon, ia kuburkan satu-satu merpati
yang mati. Tidak pakai patok sebagai ganti nisan. Musalim benci sekali
patok-patok. Terlebih setelah hampir dua bulan ini banyak orang-orang berbicara
dengannya mengenai patok-patok yang tak ia mengerti dan riuhnya karyawan proyek
lalu lalang di tanggul depan rumahnya sambil menggotong patok-patok.
Pernah beberapa lebaran lalu Musalim mogok bekerja
memburuh di sawah Mak Totok. Seharian penuh ia tunggui seratus merpatinya. Saat
itu musim klebetan, balap merpati. Ia
harus waspada sejak meningkatnya kasus pencurian merpati. Anak-anak kampung
sebelah dari seberang Brantas suka mengendap-endap memasang jerat untuk
menangkap merpati-merpatinya. Sekalipun seantero kampung tahu bahwa merpati
Musalim terbang paling cepat dan tampak paling sehat, tak sekalipun ia mau
menjual merpatinya untuk klebetan. Menonton
ke arena balap saja ia tak pernah. Mual, katanya, melihat burung-burung itu
dipaksa terbang saling mendahului. Seolah di dunia ini segalanya harus
dipertandingkan dan harus selalu ada yang menang, lalu yang kalah dianggap
pecundang.
Tidak. Musalim memilih hidup di luar lintasan pertandingan. Ia sudah jeri dianggap pecundang tanpa pernah mendapat kesempatan untuk bertanding. Di sekolah dulu, misalnya, ia hanyalah bayang-bayang yang tak pernah alpa duduk di bangku paling belakang tanpa teman sebangku. Bapak dan ibu guru tak pernah anggapnya ada. Teman sebayanya sudah bosan kehabisan bahan memperoloknya, ia dianggap tak ada. Seragamnya yang lusuh tercuci air kali, kebingungannya dengan huruf dan angka (entah kenapa mereka selalu bergerak acak dan bergelombang di papan tulis atau buku-buku tulis), ibunya yang tak sudi pulang dari Saudi, bapaknya yang menikah lagi, tunggakan biaya sekolahnya yang tak segera dipangkas pemerintah, bau badannya yang searoma kandang merpati, dan banyak lagi alasan dan rumor yang menjauhkannya dari pertandingan hidup. Ia bersyukur, selalu begitu, karena ia tak perlu tergesa menyantri di gelaran semesta. Lahan sepetak Mak Totok ia garap sepenuh hati. Diupah gabah pun tak masalah. Dipanggang terik matahari di kemarau panjang ketiga pun tak ia hirau. Baginya hidup adalah numpang mengaji, berdzikir sambil menderas butir-butir tasbih, meskipun menyentuh butiran yang sama berkali-kali, akan tetap ia jalani bersuka hati.
Ritme hidup Musalim yang tenang bersama seratus merpatinya
di ujung kampung nampaknya segera pergi melarung. Empat minggu setelah lebaran,
sesaat setelah ia menyalakan neon di pekerangan, Mak Totok mengetok pintu
rumahnya. Sesuatu yang tak perlu sebenarnya. Pintu dan dinding
rumahnya terbuat dari anyaman bambu petung yang berderak-derak jika diketok. Ia
silakan duduk janda sepuh itu di bangku bambu depan rumahnya. Dunianya runtuh,
Mak Totok memintanya pergi dan tak ada kesempatan untuk kembali. Minggu lalu,
ujar Mak Totok kepadanya, ketua kelompok tani memaksaku menjual sawah dan juga
tanah tempatmu membangun rumah ini kepada bos proyek, akan dibangun jalan tol
di atas sini. Jika tidak kukabulkan, ia hendak memecat anak sulungku dari
kantor desa. Aku sudah tua Musalim, petak terakhir yang kuperlu hanyalah sempit
saja untuk membaringkan jasadku ketika berpulang lagi. Pindahlah kau ke kampung
sebelah seberang Brantas, pak haji kakak misananku
tinggal di sebelah musala wakaf buyut kami, tinggalah di sana sambil mengurus
musala. Setelah mengantar Mak Totok kembali ke pinggir kampung, Musalim
limbung. Berlari ia menemui merpatinya yang kebanyakan sudah mendengkur
kelelahan terbang menjelajah angkasa. “Mak Totok bersengkongkol dengan
patok-patok!”, teriaknya pada rumah-rumahan kayu di ujung tiang bambu di
halaman belakang rumahnya. Kali ini ia tahu, esok hari ia tak bisa menghindar
lagi dari arena pertandingan lari.
Subuh-subuh Musalim bangun membawa gergaji, ia tak mungkin
menyelamatkan rumahnya dari patok-patok, tapi ia tahu, ia bisa membawa serta
rumah merpati-merpatinya ke tanah belakang musala di kampung seberang Brantas.
Matanya kosong memandangi tegak tiang-tiang
bambu yang menopang pagupon. Betul kata ibu dulu, ujarnya dalam hati, tidak
pernah mudah melangkah pergi tanpa punya kesempatan untuk memilih.
Dipindahkannya satu demi satu pagupon itu di atas jengki
biru tua peninggalan bapaknya. Helai demi helai bulu halus merpatinya yang
tersangkut di pintu kecil pagupon ikut tersapu angin ketika ia mengayuh kencang
di tikungan jalan raya.
Ia tak sempat menghitung merpatinya, tapi ia berharap
mereka akan terbang pulang mengikuti kandangnya, ke kampung sebelah seberang
Brantas. Selepas maghrib dua puluh pagupon berbentuk rumah-rumahan mungil tertata
rapi di belakang musala kampung sebelah, berseberangan dengan padhasan.
Musalim menunggu sampai pukul dua belas malam tapi tak sekepak pun
sayap merpatinya terdengar pulang ke kandang. Hatinya retak seperti tanah liat
di ladang ketika kemarau tak kunjung rampung, betapa nelangsanya ditinggalkan
oleh mereka yang disayang tanpa permisi. Matanya menolak terpejam meski raga
dan batinnya lunglai bersandar pagupon.
Pagi pahit datang menyemburkan jingga berdarah di ufuk
timur, semburat api yang menggambar warna mata Musalim semenjak muazin
mengumandangkan adzan subuh tadi. Ia marah sekali, pada orang-orang pengusung
patok-patok, pada Mak Totok. Bergegas ia kayuh jengki biru tuanya sambil
menenteng gergaji, ke arah timur, menyeberang Brantas ke rumah kecilnya di
ujung kampung.
Lidah-lidah api amarah kian menjalar ke relung hatinya
yang merana ditelantarkan semesta, ketika ia melihat rumah bambunya rata dengan
bumi dan ditindih mesin gilas bercat kuning. Rumpun bunga kana yang dulu ia
siram tiap pagi kini berbalut lumpur debu. Ia acungkan gergajinya ke arah
orang-orang pengsusung patok yang berkumpul di bekas halaman belakang rumahnya.
Serapah di ujung lidah, bara di batok kepala, Musalim melangkah cepat ke arah
kerumunan itu.
Belum sempat ia muntahkan pahitnya, Musalim tercengang
hampir tak percaya dengan apa yang ia lihat. Langkahnya dihentikan kesiup angin
yang dikenalnya, dengkuran-dengkuran lembut yang dengungnya ia rindukan. Tepat
seratus merpati beraneka rupa memenuhi sepetak tanah di bekas halaman belakang
rumahnya. Mereka berbisik kepada Musalim, “Akhirnya kau pulang juga ke rumah
tuanku, kupikir kau pergi dan tak lagi kembali.”
Jombang, 4
September 2014