Mengingkar Pahit

Seperti yang sudah-sudah, engkau menyambutku di balik bentengmu setiap kali aku bertamu. Bersembunyi di dalamnya hanya menegaskan kerapuhan dan ketidakyakinanmu membela selubung yang kaupercaya.

Sudahlah kawan, jika bagimu hidup adalah pertaruhan dan kau tak siap menyintas kekalahan, buat apa mati-matian mencari pembenaran? Kecewamu akan kian memanjang lalu menebal, mengisi rongga di kepalamu dengan ekstrak pahit tak terkira. 

Kupikir sejak dulu kita setuju, bahwa hidup manusia terlalu ringkih jika bersandar pada kehendak orang lain atau bahkan tersandera pada pikiran delusional soal kata hati. 
Lantas mengapa harus sekarang kau memilih terjerembab lagi? Saat orang-orang sudah pergi berjemur di bawah matahari? 

Aku tak berkelit dari tuduhanmu bahwa tidak mudah bagiku  mengerti jalanmu kini.
Bukan hal mudah mengingkar jurang antara harapan dan kenyataan. Lebih sulit lagi  memunggungimu sementara hampir sepenuhnya aku tahu: cepat atau lambat kau akan jeri, daya dan hargamu terkuras sampai pusat ulu hati. Hanya ada matahari terik perlahan mengelupas kulit kepalamu dan memberangus kelindan jebakan pikirmu.

Kau dan aku telah lama tahu, kebenaran adalah konstruksi berbuntut konsekuensi. Kau tampaknya paham betul ke mana harus pergi dengan buntalan fiksi yang kau eja jadi kebenaran, ilusi yang mati-matian kau bela untuk meyakinkanmu bahwa kau ada.

Selamat jalan. Dan jika kau jatuh suatu hari, aku harus tetap melangkah dan berlalu dari kubanganmu, menyelipkan tanganku ke dalam saku dan enggan lagi mendengar rengek tangismu. Degupmu sudah cukup kencang untuk menahan pedih bukan? 

Nanti jika kau sanggup terbang lagi dari tempurung itu dan siap berburu, pergilah ke barat daya, di sana ada tempat yang kau cari, bintang yang lenyap ketika matahari naik perlahan di ufuk timur, yang selalu berpendar meski harus lebur.





Diberdayakan oleh Blogger.