Begitu, hujan

Hujan meraup serpihan awan lalu melemparnya ke daratan,
terkejut aku ditegurnya siang ini,
meluncur begitu saja
bersarang di lipatan mataku, memburamkan pandangan.

Bukan! teriakku ke arah langit sambil tengadah,
bukan kaca-kaca siang hari di mataku lagi.
Cukup sudah deras rinaimu banjiri ladang batinku,
kali ini kupinta kau hadir tanpa praduga
Tak tahukah kau aku sudah bisa melihat tanpa mata
menembus lapis-lapis pekat yang sering kau sebut angkasa

Kendati kau sering bersembunyi di siang hari,
bagiku sama saja, malam hendak merayap, menyergapmu sebelum kau serang aku.
Lalu seperti angka-angka balok di kalender usang itu
kau terus coba hantuiku dengan jarak dan waktu.
Beranikah kau lempari aku lagi dengan segenggam awan
setelah kau ditinggal putih matahari?
Hanya pengecut, yang mau bersama karena sudah lama ditelantarkan sepi.
Setajam apapun pucuk airmu menggedor sunyi, tak kan retak ia, tak kan retak hati.
Aku tak mau lagi ingatkanmu betapa tangguhnya hati
di dalam bungkuk tubuh pujangga-pujangga,
di atas kertas-kertas kuning bekas tumpahan kopi.
Jenis mereka ini, punya berlaksa kunci
tuk memilih bahagia tanpa perlu hiraukan sepi.

Hujan,
Jika nanti kau bertemu mereka di jalan penyendiri
jangan lagi kau lempari awan ke ujung-ujung bumi,
merintiklah di ladang-ladang gersang,
di dahan-dahan kering tempatnya menanti semi,
di lipatan mata hati yang katanya tak mampu tertawa hanya karena dirundung sunyi.



Diberdayakan oleh Blogger.