Kepada Guru Hidup di Amsterdam

Guru hidup,

Terima kasih telah mengajari saya untuk hidup sebagai manusia.

Caramu menertawakan kehidupan adalah kejujuran, sisi yang paling sering dihindari oleh mereka yang menyebut dirinya manusia.
Mereka bisa terus berlomba untuk menjadi pribadi paling dipuja, sibuk mengejar hal-hal yang justru lari daripadanya, dan sibuk bermimpi sambil berhias diri agar terlihat sangat baik dan sangat benar. Mereka-reka kebenaran dengan pembenaran.

Sejak saya memantapkan hati untuk belajar tentang hidup, guru adalah satu di antara sedikit sekali pribadi yang entah bagaimana caranya, saya jumpai sebagai antitesa dari kebanyakan manusia. 

Engkau menjumpai hidup seolah ia kawan lama tanpa kadaluarsa, tak perlu membuatnya terjepit di antara drama hanya untuk membuatnya tetap tinggal di pihakmu. 
Saat ia berbagi pahit, kalian berdua tak segan mengecapnya bersama, tanpa harus saling bermusuhan.

Hidup adalah perayaan setiap hari bagimu, ia tak sekadar pesta berdekorasi artifisial yang komplit dengan undangan berenda-renda agar semua orang boleh mencicipi satu malam kemegahanmu. Lalu decak kagum itu mengerak di bibir gelas-gelas kosong bekas gin, meninggalkan tumpukan sampah berlusin-lusin. 
Hidup yang kaupunya adalah perayaan sederhana namun senantiasa ada. Engkau bersulang dengan hidup untuk masa kering maupun masa panen bergulir. 
Darimulah saya belajar menjadi manusia yang tak hanya sibuk mendekorasi hidup, tapi menjadikannya teman sepejalanan.

Saya berkhayal jika suatu nanti Nyala sudah dewasa, ia akan bangga karena di dalam hidup yang diwariskan kepadanya, ada kisah tentang antitesa dari arus besar kehidupan manusia kota.

Semoga kisah perjalananmu bersama hidup senantiasa menyerupa kitab terbuka untuk menjadikan semakin banyak manusia mampu terjaga.
Saya berdoa agar hidupmu adalah kelindan yang indah antara pilihan dan kemungkinan.

Selamat ulang tahun guru kehidupan.



Salam dari titik kecil di Amerika Utara.



Diberdayakan oleh Blogger.