Kepada Guru Hidup di Cawang

Kost Opung Marpaung, 17 Juni 2013


Agak canggung memang menuliskan runtutan kata dalam lembar ini. Mungkin karena di langit kita, menulis bukanlah suatu tradisi. Orang-orang kita lebih gemar bercakap daripada menulis. Hal itu yang membuatku heran, betah sekali kita berbicara dari pagi hingga pagi lagi lalu semuanya menguap tanpa ada yang mencatat. Saat tiba hutang ditagih, tak seorangpun ingat siapa berkata apa, kapan ia di mana, juga bagaimana kejadian itu ada. Kebenaran pun jauh lebih gampang lenyap.


Aku sangat bersyukur karena Tuhan memberiku ijin untuk belajar dari kitabmu yang terbuka. Dari mataku, kitab itu sangat kaya akan kebijaksanaan dan pelajaran. Hanya saja mereka tersembunyi di balik selubung yang entah mengapa mati-matian kau pertahankan untuk membangun identitas. Selubung itu mungkin adalah caramu untuk mengingkari kenyataan dan menutupi kebenaran, kebenaran yang suatu hari nanti ingin kau jemput saat kau lelah dengan pahitnya kenyataan.

Bukankah ada tertulis “besi menajamkan besi dan manusia menajamkan sesamanya”? Aku mungkin berhutang cukup banyak padamu untuk kesediaanmu dipakai Tuhan menajamkan hidup yang kupunya. Caramu menentang kebenaran umum adalah kesadaran yang jarang sekali dipunyai oleh manusia lain. Itulah mengapa engkau sering disangka sebagai bukan manusia. Paling tidak, aku yang sering menyangka demikian. Engkau berdiam dengan caramu sendiri di dunia yang ramai-ramai dipenuhi orang-orang riuh. Bagian itulah dari dirimu yang tak segan menajamkan ketumpulan hidup manusia lain. Bagaimanapun juga, aku berterima kasih karena engkau ada.  

Satu dari nukilan ajaranmu yang hingga kini melekat sekali di kulit kepalaku adalah untuk menjadi terang tanpa harus menyerupa lilin yang membakar dirinya sendiri. Benar katamu, lilin hanya mampu menerangi untuk sementara waktu, ia bahkan lebih banyak menciptakan bayang-bayang daripada menolong orang lain melihat luka pada sekujur tubuhnya. Sering aku bantah, bukankah lilin adalah temaram yang tidak menyilaukan pelihatnya dan pendarnya cukup sudah untuk menghalau kegelapan dengan kesederhanaan. Tapi sepertinya aku salah dan kau benar. Di hidupku yang lalu aku sering membakar diriku sendiri agar orang lain mampu melihat lebih jelas jalan dan lukanya.

Kini semuanya tampak jelas bagiku, manusia harusnya adalah sumber cahaya yang berpendar dari energi abadi agar ia terus menyala tanpa perlu mati sebelum kegelapan pergi menyelubungi hati yang buta dan mata yang kabur akan kebenaran. Itulah mengapa, Tuhan mau agar kita bersinar terus, bukan dengan kekuatan kita tapi dengan sumber energi milik-Nya. Ah aku mengerti sekarang, engkau benar, manusia harusnya bersinar tanpa kepongahan akan klaim bahwa hanya lewat sinarnyalah orang lain bisa melihat jalan dan luka.

Manusia adalah lampu kota yang dinyalakan dari sumber cahaya matahari lewat panel-panel surya kotak-kotak di atas kepalanya. Ia tak bisa bersinar sendirian untuk menerangi jalanan. Ia tak bisa pongah menyatakan bahwa hanya karena dirinyalah cahaya itu ada. Ia tak perlu menyerupa lilin yang membakar dirinya sendiri. Terang itu adalah lampu kota, bukan api. Api membakar sekaligus menerangi, tapi lampu kota hanya menerangi saja tak perlu membakar. Semoga engkau juga sekarang memilih untuk jadi lampu kota alih-alih lilin yang membakar batangnya tanpa seorangpun mengerti siapa ia. Engkau yang mengajariku, jadi jangan melakukan hal bodoh untuk mati-matian menolak kebenaran yang keluar dari isi kepalamu.

Terlalu panjang jika harus mendaftar kebijaksanaan, pelajaran hidup, atau komedi-komedi jalan manusia yang dengan murah hati kau bagi lalu terekam dalam ingatanku. Cara Tuhan memakai kita untuk mengasah hidup orang lain bagiku adalah selamanya misteri. Sekarang atau suatu hari nanti pasti kau pernah mengangguk-anggukan kepala, tersenyum, sambil memperhatikan bagaimana nukilan-nukilan hidupmu begitu jelas tercermin dalam hidup orang lain. Itulah saat di mana kau tahu bahwa sinarmu telah ditangkap oleh hati dan mata manusia lain, bahwa hidupmu telah dipakai untuk memberkati hidup orang lain. Aku yakin, berkali-kali engkau menangkap bayangan hidupmu dalam hidup milikku, mungkin dalam versi dan varian yang lain. Sudah jelas sekarang bahwa aku harus mengucap syukur karena engkau telah ada.

Di suatu pagi nanti, jika anak-anak ku bertanya tentang keberanian, kesederhanaan, dan kecerdikan, aku akan menyuruh mereka berkunjung ke rumahmu untuk belajar. Toh di sana mereka juga bisa menghirup udara yang lebih segar sambil sesekali bermain dengan kuda-kuda di antara petak-petak kebun sayur yang dikelola pekerjamu. Lalu mereka akan pulang ke pangkuanku dan mulai bercerita tentang betapa lezatnya dim sum sayur buatan istrerimu, juga tentang nasihat-nasihat aneh tentang hidup yang kau sampaikan pada mereka sembari mengajari mereka memanen jeruk.

Masa depan adalah misteri, tapi kita bisa melihatnya lebih jelas jika kita mau menyingkap kebenaran dan menyadari bahwa mungkin kita adalah satu di antara jajaran lampu kota yang dipakai untuk menerangi jalan ke kehidupan yang sebenarnya.


Selamat ulang tahun teman, saudara, dan guru hidup.

Kiranya damai sejahtera, anugerah dan kebenaran dari Juru Slamat nan adi luhung senantiasa memenuhi rongga hidupmu.

Salam.





Diberdayakan oleh Blogger.