Di Punggung Tanganku



Dua musim hampir berlalu sudah,
Menghitung ribuan langkah dari beranda rumah.

Andai jarak tak selaksa panah jauhnya, mudahnya rindu menyerupa uap air,
di pinggiran tutup belanga tepat sehabis menanak nasi.

Uap airku lekat di sana dan enggan pergi,
menetes perlahan menjelma butir air, 
meluruh jatuh ke punggung tanganku, kukibaskan ia hingga tiada.
Ia kembali jadi percik air murni bercinta dengan udara.

Titik airku melepuh jadi udara.
Mengapung tinggi dihembus angin dingin dari utara.
Berkawan gulungan awan angkasa, dikayuh angin hingga terlena.

Terlena sudah ia pada langit perak di ujung musim ini.
Jauh melayang mengintip daun-daun kering musim gugur lupa bersemi.
Karena ia adalah rindu, siapa yang tahu ia tak abadi?

Uap kecilku diutus Tuhan melompat dari awan-awan.
Ia berlari meluncur ke bumi,
dihempas angin dingin dari utara,
jadi setitik salju.
Melayang turun melewati pucuk cemara dan menara gereja,
menjumpaiku.

Ia menitik pulang di punggung tanganku.




Diberdayakan oleh Blogger.